Kamis, 15 Juni 2017

Renungan malam mulia

Renungan malam mulia romadhon...
semoga manfaat yaa jii..

Lapor Tuhan…
Oleh : Abu Hafidzh Al Faruq

adabLaporan adalah informasi, laporan bisa disampaikan secara tertulis maupun lisan. Pada instansi resmi biasanya laporan disampaikan secara tertulis bahkan seringkali harus dipresentasikan atau diexpose. Laporan biasanya juga diminta secara periodik seperti harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Laporan ini dibutuhkan untuk mengevaluasi kinerja suatu kegiatan atau aktivitas terhadap objek tertentu. begitulah defenisi singkat saya tentang laporan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam konteks hamba dengan Khalik, mutlak diperlukan laporan yang lebih intens oleh si hamba kepada Tuhan, kapan saja, dimana saja dan tentang apa saja yang ingin dilaporkan tanpa ada suatu batasan apapun mengenai waktu, tempat, objek yang dilaporkan dan tanpa harus melewati  protokoler apapun untuk melapor kepada Tuhan. Perbedaan antara laporan manusia dengan manusia dan laporan antara manusia dengan Tuhan adalah, kalau laporan manusia dengan manusia biasanya yang meminta laporan adalah atasan anda, atasan anda yang meminta laporan anda untuk melihat kinerja anda sedangkan laporan manusia dengan Tuhan adalah atas inisiatip anda sendiri karena andalah yang butuh ”melaporkan” itu, bukan Tuhan.

Melapor kepada Tuhan tentulah berbeda dengan laporan komandan upacara kepada inspektur upacara. Laporan kepada inspektur upacara itu mirip mirip membentak. ’Lapor! Upacara siap untuk dilaksanakan! Laporan selesai!’ begitulah saya membentak kepala sekolah kami pagi senin itu dan beliau langsung menimpali ’laksanakan!’. Melapor kepada Tuhan tentulah di awali dengan puji pujian dulu seperti ’segala puja dan puji bagiMu Tuhan.., Engkau maha pengasih lagi maha penyayang… dan seterusnya.. dan sebagainya… kalau diterjemahkan dalam bahasa arab sperti ini ’alhamdulillahirrabbil ’alamin.. arrahmannirrahim.. dst.., dsb.., itupun kalau anda orang arab, kalau bukan pakailah bahasa yang anda mengerti, bahasa Ibu anda, begitulah Guru saya berpesan. Setelah puji pujian barulah anda melapor semisal tunjukilah aku jalan lurus dan benar, bahasa arabnya ihdinassirattal mustaqim.. itupun kalau yang anda butuhkan adalah jalan yang lurus dan benar. Kebutuhan anda dan saya tentulah berbeda, pada saat saya butuh dana segar 10 milyar misalnya tentulah saya meminta suntikan dana segar 10 milyar, saya tidak akan meminta jalan yang lurus. Kalau orang lain butuh anaknya lulus tes CPNS misalnya mintalah agar lulus tes CPNS jangan minta jalan lurus dan benar, gak nyambung soalnya.

Melapor itu lebih mirip sharing (berbagi) sebenarnya daripada berdoa. Sharing itu akrab layaknya anda dengan orang orang terdekat anda ketika anda minta pendapat, ada komunikasi dua arah yang terjadi. Contoh, dikisahkan ketika istri terakhir Nabi Ayub meninggalkan beliau karena tidak tahan menyertai Nabi yang sedang menerima cobaan Tuhan bertubi tubi dan berkepanjangan, Ayub berkata kepada istrinya ’kalau engkau kembali kepadaku, aku akan menderamu 100 kali. Ketika cobaan Tuhan mereda, kesehatan Nabi Ayub membaik diikuti dengan kepulihan ekonomi beliau dan menjadi kaya lagi, sang istri terakhir pun kembali kepada beliau, pada saat itulah Nabi Ayub kebingungan dan melapor kepada Tuhanya. Tuhan, aku harus melaksanakan janjiku menderanya 100 kali tapi aku tidak tega, kemudian Tuhan memberikan solusi dan berfirman kepadanya ’ambillah seratus lidi dan kumpulkanlah lidi lidi itu kemudian pukulkan sekali ke tubuh istrimu’. Sungguh Ayub telah mendapat pencerahan luar biasa ketika Ayub yang  berkonsep 1 x 100 kebingungan dan Tuhan menawarinya konsep 100 x 1 dengan hasil yang sama tetapi memberikan efek yang jauh berbeda. Inilah gunanya melapor.

Lalu seberapa pentingkah melapor kepada Tuhan? Saudara, semua orang tahu kalau bersetubuh itu haram meskipun dengan istri sekalipun selama berpuasa. Ketika bulan  Ramadhan saat Nabi Muhammad SAW sedang duduk duduk dengan para sahabat, ada seseorang yang datang kepada Rasulullah melapor dan terjadilah ilustrasi dialog kira kira seperti di bawah ini :

Orang melapor ; ya Rasulullah, saya tidak tahan ya Rasulullah, saya telah menggauli istri saya

Rasulullah         ; merdekakan olehmu seorang budak

Orang melapor  ; saya tidak punya uang ya Rasulullah

Rasulullah         ; ganti puasamu dengan puasa 60 hari berturut turut pada bulan yang lain

Orang melapor  ; 1 hari saja saya tidak mampu ya Rasulullah, bagaimana saya mampu puasa 60 hari berturut turut?

Rasulullah         ; kalau begitu berilah makan 60 orang fakir miskin

Orang melapor  ; saya orang miskin ya Rasulullah, saya tidak mampu memberi makan fakir miskin

Rasulullah         ; ya sudah, bagikan ini kepada orang miskin di tempatmu (sambil nabi memberikan sekeranjang kurma kepada orang melapor tadi)

Orang melapor  ; ya Rasulullah, saya adalah orang termiskin di tempat saya.

Rasulullah         ; ya sudah, bawalah pulang anggur itu untukmu

Orang melapor  ; terima kasih ya Rasulullah..

Saudara, kalau lah kita ada di selingkar duduk Nabi pada saat itu mungkin kita sendiri akan iri sambil berguman ’ini orang sudah melakukan kesalahan kok malah dapat hadiah pulak?!!’. Akhirnya halal haram boleh atau tidak menjadi tidak penting lagi disini, yang penting adalah MELAPOR! Kalau orang yang melapor tadi tidak tahu Tuhan dia melapor saja kepada Nabi, ketika Nabi tidak memberi sanksi apapun dan malah memberi hadiah kepada si orang tadi, itu sudah menjadi tanggung jawab Nabi lah kepada Tuhan.

Ini cerita dari Guru saya, ketika muda Guru saya bekerja pada sebuah keluarga kaya di ujung pulau seberang, pada saat berencana hendak mengunjungi Gurunya di Medan Sumatera Utara, Guru saya muda telah jauh jauh hari melapor kepada majikannya minta diijinkan cuti pada hari H untuk mengunjungi Gurunya di Medan. Sambil bekerja Guru saya muda menanam bunga yang memperkirakan hasilnya nanti bisa digunakan untuk ongkos keberangkatan ke Medan. Perjalanan ke Medan adalah perjalanan sehari semalam di darat ditambah tiga hari dua malam kapal berlayar. Guru saya muda telah memperkirakan dengan cermat kapan harus menanam supaya hasilnya bisa digunakan tepat pada waktunya menjelang hari H. Apa yang tejadi saudara? Justru pada saat  panen bunga tiba, tanamannya mati semua. Hancurlah perasaan Guru saya yang telah menaruh harapan besar pada satu satunya harapan agar bisa mengunjungi Gurunya di Medan. Maha suci Tuhan, kemudian Guru saya mengambil air wudhu dan setelah selesai sembahyang dan masih di atas tikar sembahyangnya Guru saya melapor.. Tuhan, aku sudah menanam bunga yang hasilnya bisa aku pakai untuk ongkos pergi ke Medan, tapi… kini bunga bunga itu mati, bagaimana aku bisa mengunjungi Guruku Tuhan?.. sambil bercerita Guru saya bertanya kepada kami, menangiskah sambil melapor? Kami mengangguk sambil menjawab lirih serempak ’iyaa..’. Guru saya menimpali dengan suara yang keras dan panjang ’MEENAANGIIS!!’.  Kata Guru barusan sangat mempertegas kepada kami bahwa melapor kepada Tuhan, berkeluh kesah kepada Tuhan adalah dengan segenap perasaan dan jiwa.  Guru melanjutkan ceritaNya.. apa kata Tuhan? Seolah olah Guru bertanya kepada kami dan kemudian melanjutkan ’Heii MALAIKAT!!! KAU URUS ITU SI … (sambil menyebut namanya sendiri)’. Guru saya melanjutkan bahwa ketika selesai Guru saya muda melipat tikar sembahyangnya, sang majikan datang sambil membawa amplop tebal yang berisi uang dan menyerahkannya kepada Guru saya muda sambil berkata ’kapan berangkat? Ini untuk ongkos di jalan, pergi dan pulang beserta uang saku di jalan…’. ALLAH MAHA KAYA, ALLAH MAHA KAYA, ALLAH MAHA KAYA…

Saudara sekalian, pada saat menanam bunga Guru saya muda memperkirakan hasilnya hanya cukup untuk ongkos pergi saja, setelah melapor, Tuhan memberikan lengkap ongkos pergi dan ongkos pulang tambah uang saku.

Saudara sekalian, statemen yang kita tangkap adalah yang penting MELAPOR!. Statemen ini hanya berlaku bagi saudara saudara yang sudah mengenal Tuhannya, bagi yang belum silahkan cari dulu Tuhannya, kalau tidak bisa mencari Tuhan carilah dulu orang yang sudah mengenal Tuhan biar ada yang bimbing. Terima kasih.

Saudaraku,

Melaporlah pada saat senang agar Tuhan juga mau mendengar laporan kita pada saat susah

Melaporlah pada saat banyak uang agar Tuhan juga mendengar laporan pada saat kita tak punya uang

Melaporlah pada saat bahagia agar Tuhan menemani kita pada saat sengsara

Melaporlah…

Rabu, 14 Juni 2017

UJIAN SEORANG MURID

Renungan seorang murid kepada gurunya .

UJIAN SEORANG MURID

Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh sufi, mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus dapat menyelesaikan tugas itu. Satu demi satu santri kembali ke hadapan Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih.
Akhirnya ketika matahari tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak boleh melaksanakan perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu, menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya. Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada tempat di mana Dia tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.”
Sang Guru menjelaskan bahwa murid inilah yang sudah benar-benar sampai kepada pelajarannya dimana dia selalu diawasi oleh Allah SWT.
Mungkin sebagian kita sudah pernah mendengar cerita diatas dan tentu saja kita semua mempunyai kesimpulan yang berbeda. Cerita di atas mengajarkan kita bahwa di dalam menuntut ilmu mempunyai adap dan aturan tersendiri salah satunya kita dilarang iri terhadap sesama murid. Bisa jadi dalam pandangan kita Guru memberikan perhatian lebih terhadap seorang murid dan kita dilarang untuk cemburu. Guru sangat mengetahui bagaimana harus memperlakukan murid-muridnya dan Guru membagi kasih sayang yang sama kepada seluruh murid, cuma pandangan kita melihat seolah-olah ada yang lebih disayang.
Seorang Guru akan tahu jenis apa calon murid yang datang kepadanya, apakah jenis keledai atau  kuda sembrani, sejenis ayam sayur atau ayam bangkok dan Guru akan mendidik sesuai dengan bakat masing-masing. Kita tidak boleh iri dan dengki kepada saudara kita.
Suatu hari pernah seorang Guru Sufi memberikan suatu rahasia kepada muridnya dalam pertemuan empat mata  dan berpesan, “Rahasia ini jangan kau beritahukan kepada siapapun”. Kemudian dihari lain Guru Sufi memberikan rahasia kepada murid yang lain dan kembali berpesan, “Rahasia ini jangan kau beritahukan kepada siapapun”. Begitulah seterusnya sehingga seluruh murid diberitahukan rahasia itu. Antara sesama murid tidak ada yang tahu bahwa saudaranya juga diberitahukan rahasianya yang sama.
40 hari kemudian dari kesemua murid mulai berubah tingkah lakunya. Ada yang bersikap sombong karena merasa dia murid yang terbaik dan cuma dia yang mengetahui rahasia Guru. Murid yang lain memberitahukan kepada kawannya, “Aku diberitahukan rahasia hebat oleh Guru dan tidak boleh aku ungkapkan kepada siapapun”. Diantara banyak murid hanya sedikit yang bersikap seperti biasa dan tetap melaksanakan tugas-tugas yang diberikan Guru, bersikap santun dan hormat kepada saudaranya. Dan murid yang sedikit inilah dalam pandangan Guru telah berhasil melampaui ujiannya.
Mari kita tumbuhkan kesadaran dalam diri kita bahwa tidak ada yang hebat dari murid Guru, yang hebat adalah Guru sedangkan murid akan tetap murid. Kalaupun diberikan suatu kekeramatan itu tidak lain merupakan bentuk kasih Guru kepada kita dan kita tidak akan mampu menduduki maqam itu secara abadi.
Banyak murid-murid Guru yang tergelincir disini, merasa sudah hebat dan bisa melakukan apapun akhirnya tanpa sadar durhaka kepada Guru. Godaan terberat dan terhebat bukan berasal dari Iblis akan tetapi Ujian terberat itu ketika Tuhan langsung menguji kita dengan berkata, “Wahai hambaKu, kau sudah boleh begini, kau sudah boleh begitu, kau sudah mencapai maqam itu, kau sudah jadi wali anu”. Disinilah terkadang silapnya sang murid menurutinya tanpa menanyakan berulang kali kepada Tuhan sebagaimana Nabi Ibrahim bertanya berulang kali saat diperintahkan menyembelih anaknya.
Penutup tulisan ini saya mengutip nasehat Syekh Naqsyabandi kepada murid-muridnya mudah-mudahan berguna untuk kita semua:
“Suatu saat kalian akan berada pada maqam sangat tinggi, bisa terbang, kebal, bisa menghilang dan bahkan kalian bisa menghidupkan orang mati. Akan tetapi ingatlah wahai muridku, bahwa itu bukan maqam kalian tapi itu maqam Gurumu, kalau kalian tetap disitu maka tanpa sadar akan disusupi oleh syetan. Kembalikan semua itu kepada-Nya dan teruslah merendah dan menjadi murid yang baik. Guru itu adalah murid yang siddiq dari Gurunya”.

TEKS KHUTBAH IDUL ADHA SINGKAT Oleh: (Ustadz Muhammad Farid Ali)

"KEBIJKASANAAN NABI IBRAHIM AS DAN AKTUALISASAI PENYEMBELIHAN ISMAIL AS DALAM KEHIDUPAN SEKARANG" الله أكبر، الله أكبر، الله ...