So U Know..?
Songkok, yang disebut juga sebagai peci atau kopiah merupakan sejenis topi tradisional bagi orang Melayu. Di Indonesia, songkok yang juga dikenal dengan nama peci ini kemudian menjadi bagian dari pakaian nasional, dan dipakai tidak hanya oleh orang Islam. Songkok juga dipakai oleh tentara dan polisi Malaysia dan Brunei pada upacara-upacara tertentu.[1] Penutup kepala ini merupakan variasi dari Fes atau Tharbusy yang berasal dari Maroko.
Songkok populer bagi masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Indonesia dan selatan Thailand. Perlengkapan ini dikatakan berasal dari pakaian yang dipakai di Ottoman Turki. Songkok menjadi popular dikalangan India Muslim dan menurut pakar kemudiannya berangsur menjadi songkok di dunia Melayu.
[2]Dalam kesusteraan Melayu, songkok telah disebut dalam
Syair Siti Zubaidah (1840) "...berbaju putih bersongkok merah....".
[3]
Bagi kalangan orang Islam di Nusantara, songkok menjadi pemakaian kepala yang resmi ketika menghadiri upacara-upacara resmi seperti upacara perkawinan, salat Jumat, upacara keagamaan dan sewaktu menyambut
Idul Fitri dan
Idul Adha. Songkok juga dipakai sebagai pelengkap baju adat Melayu yang dipakai untuk menghadiri pertemuan-pertemuan tertentu.
Pertanyaan :
ما حكم من صلى بالناس إمامًا وليس على رأسه غطاء ؟
“Apa hukum seorang yang shalat mengimami manusia tanpa memakai penutup di kepalanya (peci atau imamah – Abul-Jauzaa’) ?.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا حرج في ذلك ؛ لأن الرأس ليس من العورة ، إنما السنة أن يُصلى بالإزار والرداء ؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد ليس على عاتقه منه شيء
فإذا صلى مكشوف الرأس فلا حرج في ذلك ، لكن إذا أخذ زينته واستكمل زينته يكون أفضل ؛ لقول الله سبحانه : يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
فإذا استكمل الزينة التي اعتادها في بلاده مع جماعته ، وكان من عادتهم أنهم يسترون الرؤوس فهذا أفضل ، أما إذا كان في بلاده ليس من عادتهم هذا ، بل من عادتهم كشف الرؤوس فلا بأس أن يصلي بهم مكشوف الرأس
“Tidak mengapa akan hal itu, karena kepala bukan termasuk aurat. Yang termasuk sunnah hanyalah shalat dengan memakai sarung dan baju, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan memakai satu pakaian saja, dimana tidak ada sesuatu pun yang menutupi pundaknya’.
Apabila ia shalat tanpa memakai penutup kepala, maka tidak mengapa. Akan tetapi apabila ia mengenakan perhiasannya dan menyempurnakannya (dengan mengenakan tutup kepala), maka hal itu afdlal (lebih utama), berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’ala: ‘Wahai Bani Aadam, gunakanlah perhiasan kalian setiap kali menuju masjid’ (QS. Al-A’raaf : 31). Oleh karena itu, apabila ia menyempurnakan perhiasan yang biasa berlaku pada negerinya bersama jama’ahnya, dimana termasuk di antara kebiasaan mereka (penduduk negeri) adalah menutup kepala; maka hal ini afdlal (lebih utama dilakukan). Sebaliknya, jika kebiasaan yang berlaku dalam negerinya tidak seperti itu, bahkan termasuk kebiasaan mereka adalah tidak memakai penutup kepala; maka tidak mengapa shalat bersama mereka dengan keadaan kepala terbuka (tanpa memakai penutup)” [selesai – lihat juga transkripnya di : http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=5&View=Page&PageNo=1&PageID=2907].
Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah pernah ditanya :
ما حكم الشرع فيمن يصلي عاري الرأس ؟
“Apa hukum syar’iy orang yang shalat dengan kepalanya terbuka (tanpa penutup) ?”.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا بأس أن يصلي الرجل عاري الرأس ؛ فإن الرأس ليست من العورة التي أمرنا الله بسترها ، ولم يكن الرسول صلى الله عليه وسلم يلتزم تغطية الرأس في الصلاة ، بل كان كثيرا ما يصلي عاري الرأس ، وكان بعض الأئمة يستحب الصلاة عاري الرأس ، ويرى أنه أبلغ في التعبد
“Tidak mengapa seorang laki-laki shalat kepalanya terbuka, karena kepala bukan termasuk aurat yang Allah perintahkan kepada kita untuk menutupnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melazimkan menutup kepala dalam shalat. Bahkan beliau sering shalat dalam keadaan kepala terbuka. Dan sebagian imam menyukai shalat dengan kepala terbuka, dan mereka berpendapat hal tersebut lebih sampai pada ta’abbud” [An-Nibraas min Fataawaa Muhammad Khaliil Harraas; Daarul-Aatsaar].
Apabila kepala bukan merupakan aurat yang mesti ditutup saat shalat, maka memakai penutup kepala (peci, ‘imaamah/surban, ghutrah, dan yang semisalnya) tidaklah diwajibkan. Jika dalam shalat tidak diwajibkan, maka di luar shalat hukumnya (tentu) lebih ringan.
Jika demikian, benarkah kemudian jika memakai dan tidak memakai peci dianggap sebagai barometer kesalafian seseorang ? – sementara kita mengetahui tidak wajib memakai peci. Jika jawabannya adalah ‘tidak’, bukankah lebih layak untuk tidak membicarakan masalahwarna peci dalam hal identitas kesalafian seseorang ?.
Kemudian,..... pernah ditanyakan kepada Asy-Syaikh Ibnul-Utsaimiin rahimahullah :
لبس العمامة هل هي سنة ثبتت عن الرسول صلى الله عليه وسلم ؟
“Memakai ‘imaamah, apakah ia termasuk sunnah yang tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”.
Beliau rahimahullah menjawab :
لا ، لباس العمامة ليس بسنة ، لكنه عادة ، والسنة لكل إنسان أن يلبس ما يلبسه الناس ما لم يكن محرماً بذاته ، وإنما قلنا هذا ؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة ، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة ، فإذا كنا في بلد يلبسون العمائم لبسنا العمائم ، وإذا كنا في بلد لا يلبسونها لم نلبسها ، وأظن أن بلاد المسلمين اليوم تختلف ، ففي بعض البلاد الأكثر فيها لبس العمائم ، وفي بعض البلاد بالعكس ، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يلبس العمامة ؛ لأنها معتادة في عهده ، ولهذا لم يأمر بها ، بل نهى عن لباس الشهرة ، مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه ، إلا أن يكون محرماً......
“Tidak. Pakaian ‘imaamah itu bukan termasuk sunnah, akan tetapi termasuk kebiasaan (‘aadah). Yang sunnah bagi setiap orang adalah ia memakai pakaian yang dipakai oleh orang-orang selama tidak diharamkan secara dzatnya. Kami hanyalah mengatakan hal ini karena jika ia memakai pakaian yang menyelisihi kebiasaan orang-orang, maka itu termasuk syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pakaian syuhrah. Apabila kita berada di negeri yang penduduknya mempunyai kebiasaan memakai ‘imaamah, maka kita memakai ‘imaamah. Dan apabila kita berada di negeri yang penduduknya tidak biasa memakai ‘imaamah, kita pun tidak memakainya. Dan aku menduga negeri kaum muslimin saat ini berbeda-beda keadaannya. Sebagian negeri banyak yang memakai‘imaamah, dan sebagian negeri lainnya sebaliknya. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambiasa memakai ‘imaamah, karena ia biasa dipakai di jaman beliau. Oleh karena itu, beliau tidak memerintahkan manusia untuk memakainya. Namun di sisi lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian syuhrah. Hal ini memberikan faedah bahwa sunnah dalam pakaian adalah seseorang mengikuti apa yang biasa orang-orang memakainya, kecuali jika pakaian tersebut diharamkan..... “ [Pertemuan Terbuka, 23/60].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan As-Suhaim pernah ditanya tentang hukum memakai pakaian alaPunjabiy bagi wanita yang menyerupai pakaian model Pakistan. Beliau menjawab :
إذا لم يكن من لباس أهل البلد فيُمنع منه ؛ لأنه يدخل في حُكم لِباس الشُّهْرَة ، وهو اللباس الذي تشتهر به المرأة أو تتميّز به عن غيرها.
وقد قال عليه الصلاة والسلام : من لبس ثوب شهرة في الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة . رواه الإمام أحمد وأبو داود
“Apabila pakaian tersebut bukan termasuk pakaian penduduk negeri, maka terlarang memakainya, karena ia masuk dalam hukum pakaian syuhrah. Yaitu pakaian dimana seorang wanita menjadi masyhur dengannya atau berbeda sendiri dari wanita lainnya.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : ‘Barangsiapa yang memakai pakaian ketenaran (syuhrah) di dunia, niscaya Allah akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari kiamat’. Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad dan Abu Daawud” [sumber :http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=59333].